OPINI | Akhir Jabatan Dikepung Sampah

Reported By Pimred Borneo Pos 13 Feb 2025, 08:57:32 WIB Kolom & Opini
OPINI | Akhir Jabatan Dikepung Sampah

Keterangan Gambar : Noorhalis Majid, Penulis.


Oleh: Noorhalis Majid


Sepekan lagi jabatan kepala daerah berakhir, digantikan kepala daerah terpilih hasil Pemilu 2024. 

Baca Lainnya :


Banyak kepala daerah yang memasuki akhir jabatan, kotanya justru dikepung sampah. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutana (LHK), terdapat 306 Tempat Pembuang Akhir (TPA) di Indonesia yang ditutup, salah satu yang ikut ditutup TPA Basirih Banjarmasin. Padahal, di TPA tersebut menampung tidak kurang 500 ton sampah yang diantar setiap hari. Karena ditutup, tumpukan sampah mengepung kota. Di sejumlah TPS dan pasar, bahkan sudah menggunung.


Perlu diketahui, timbunan sampah nasional mencapai 31,9 juta ton perhari, termasuk 500 ton kontribusi sampah warga Banjarmasin. 24% tidak terkelola, hanya 7% yang didaur ulang, sisanya 69% berakhir ditumpuk di TPA. Ketika TPA ditutup, menumpuk di TPS, tong sampah, bahkan di segala tempat, termasuk rumah kosong, tanah kosong, tepi jalan dan sungai. 


Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), jenis sampah terbanyak adalah organik, sebanyak 60%, mestinya dapat diselesaikan di rumah tangga masing-masing, menjadi kompos dan lain sebagainya. Sayang sedikit yang mau mengelolanya. Sampah plastik 14%, kertas 9%, metal 4,3% dan bahan lainnya 12,7%, jenis ini dapat diaur ulang sehingga bisa dimanfaatkan kembali, tapi lagi-lagi kurang serius ditangani. 


Apa hebatnya kota yang dikepung sampah? Selain memberi gambaran tentang tata kelola pemerintah, kepemimpinan, dan kualitas hidup warga kota. 


Mengelola sampah, bagian dari mengelola pelayanan publik. Bukankah tugas utama pemerintahan yang dipimpin kepala daerah, menyelenggarakan pelayanan publik? Ketika sampah tidak terkelola dengan baik, berarti satu tugas pelayanan publik yang sangat penting dan mendasar, tidak mampu dilaksanakan dengan baik.


Tidak mudah bagi kepala daerah berikutnya menjawab tantangan ini. Apalagi ketika kondisi anggaran yang sudah defisit, dipaksa pula untuk efisien, pasti membatasi segala inovasi agar masalah yang terlanjur disebut “sampah”, mampu diubah menjadi potensi. (nm)



Baca Lainnya :




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment