OPINI | Dr. Gewsima Mega Putra: Batubara Mengalir, Tapi Rakyat Tak Terangkat

Reported By Pimred Borneo Pos 09 Agu 2025, 10:19:40 WIB Kotabaru
OPINI | Dr. Gewsima Mega Putra: Batubara Mengalir, Tapi Rakyat Tak Terangkat

Keterangan Gambar : Dr. Gewsima Mega Putra, SE., MM Anggota DPRD Kotabaru, Fraksi PDI Perjuangan


Oleh: Dr. Gewsima Mega Putra, SE., MM

Anggota DPRD Kotabaru, Fraksi PDI Perjuangan


Baca Lainnya :


Kotabaru, Borneopos.com  -  Puluhan juta ton batu bara mengalir dari bumi Kotabaru setiap tahun. Kapal-kapal tongkang silih berganti membawa energi dari tanah ini untuk menerangi kota-kota besar. Tapi di balik gegap gempita industri ekstraktif ini, ada kenyataan sunyi yang menyesakkan: rakyat Kotabaru belum benar-benar menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri.


Dalam banyak kesempatan turun ke lapangan, saya melihat sendiri bagaimana desa-desa di sekitar tambang hidup dalam ketimpangan. Di satu sisi, alat berat dan kendaraan tambang lalu lalang, menciptakan kesibukan dan peluang ekonomi sesaat. Tapi di sisi lain, warga di desa-desa itu masih kesulitan air bersih, pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang layak.


Kotabaru adalah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang begitu kaya dengan sumber daya alam, terutama batu bara. Namun, kemiskinan tetap bercokol. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan Kotabaru masih tergolong tinggi dibanding daerah lain di Kalimantan Selatan. Bahkan, ketimpangan sosial tampak begitu nyata antara pusat kota dengan desa-desa di pinggiran tambang.


Lantas, kita harus jujur bertanya: Mengapa kekayaan tidak menciptakan kesejahteraan? Mengapa batu bara justru lebih banyak menghidupi perusahaan dan pusat, dibanding rakyat di tapak produksi?


Batu bara memang menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi nilai kontribusinya tidak sebanding dengan volume eksploitasi yang terjadi. Persentase Dana Bagi Hasil dari pusat untuk daerah penghasil masih kecil. Akibatnya, pemerintah daerah punya ruang fiskal yang terbatas untuk mengentaskan kemiskinan atau membangun infrastruktur sosial yang mendesak.


Kita tidak anti tambang. Kita paham, energi fosil seperti batu bara masih dibutuhkan bangsa ini. Tapi yang kita perjuangkan adalah keadilan pengelolaan, agar masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri.


Tidak hanya soal ekonomi, tambang juga menyisakan luka pada lingkungan dan sosial. Beberapa wilayah pertanian warga rusak akibat aktivitas tambang. Sungai-sungai keruh. Udara mengandung debu. Jalan-jalan desa hancur karena lalu lintas kendaraan berat. Luka ekologis ini berujung pada penderitaan sosial: petani kehilangan sawah, nelayan kehilangan pantai dan ikan, anak-anak kehilangan ruang aman untuk tumbuh.


Yang lebih memilukan, masyarakat harus menanggung beban jangka panjang, sementara keuntungan jangka pendek hanya dinikmati oleh segelintir elite ekonomi dan politik.


Kita perlu keberanian politik untuk mengubah arah. Kita butuh strategi transformatif agar kekayaan alam benar-benar menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Dana bagi hasil untuk daerah penghasil seperti Kotabaru harus ditingkatkan. Anggaran dari sektor tambang harus transparan, agar masyarakat tahu berapa besar uang yang dihasilkan dan kemana alokasinya.


Pembangunan infrastruktur sosial di desa tambang harus dipercepat, termasuk jalan, air bersih, sekolah, dan puskesmas. Program CSR tambang harus berbasis kebutuhan rakyat, bukan sekadar simbolik atau pencitraan. Pemulihan lingkungan pasca-tambang harus diawasi ketat dan melibatkan masyarakat lokal.


Sebagai wakil rakyat, saya tidak bisa diam melihat ketimpangan ini terus berlangsung. Sebab, ketika rakyat tidak merasakan manfaat dari sumber daya alam di sekitarnya, itu bukan sekadar kesalahan teknis, tapi kegagalan moral dan politik.


Apalah arti pembangunan kalau rakyat tetap lapar? Apa gunanya ekspor energi kalau sekolah anak-anak masih berlantaikan tanah?


Saya percaya, Kotabaru bisa bangkit dan menjadi contoh bahwa daerah kaya sumber daya bisa juga kaya manusianya. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita berani mengubah pola pikir, berani membenahi regulasi, dan berani berpihak pada rakyat.


Tulisan ini bukan bentuk kemarahan. Ini bentuk cinta. Cinta kepada tanah kelahiran, cinta kepada rakyat yang setiap hari berjuang dalam senyap, cinta kepada negeri yang seharusnya bisa lebih adil.


Batu bara boleh jadi hitam, tapi jangan biarkan hati kita ikut menghitam. Gunakan hasilnya untuk menerangi. Bukan hanya kota, tapi juga hati dan perut rakyat yang hari ini masih menanti keadilan. (red)

Baca Lainnya :




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment